Islam adalah agama yang lengkap dan
sempurna. Dalam hal ekonomi atau mata uangpun Allah dan RasulNya
mengajarkan kepada kita sehingga bisa didapat masyarakat yang sejahtera.
Meninggalkannya hanya akan mendapat murka di dunia dan juga diakhirat.
Islam mengajarkan kita untuk memakai uang emas Dinar (4,25 gram emas 22
karat), uang perak Dirham (2,975 gram perak), dan uang Fulus (koin
tembaga atau logam lain yang nilainya di bawah Dirham).
Satu penyebab kemiskinan adalah inflasi.
Yaitu turunnya nilai mata uang dibanding dengan harga barang-barang
yang jadi kebutuhan rakyat. Sebagai contoh, tahun 2004 harga nasi+telor
di warung Tegal paling Cuma Rp 4.000. Di tahun 2010 ini nilainya jadi Rp
6.000. Padahal banyak orang yang gajinya tidak naik selama kurun waktu
tersebut. Kalau pun ada yang naik, tidak sebesar kenaikan harga barang.
Artinya jika dengan uang Rp 360 ribu
orang bisa makan 90x (3x sehari) pada tahun 2004, maka pada tahun 2010
dia hanya bisa makan 60x (2x sehari) saja!
Akibat
berbagai kenaikan harga barang yang sudah jadi “Kebijakan” Pemerintah,
maka nilai rupiah terus menurun. Jika sebelum Krisis Moneter tahun
1997-1998 nilai rupiah adalah sekitar Rp 2.200 per 1 US$, sekarang
nilainya turun jadi Rp 9.500 per 1 US$. Ini adalah “Kebijakan Pemiskinan
Massal” melalui kebijakan kenaikan harga yang mendorong turunnya nilai
rupiah atau inflasi.
Tahun 1970 kita bisa naik haji dengan
biaya Rp 182 ribu. Tahun 2011 ONH naik jadi Rp 31 juta. Dalam 40 tahun
naik 170x lipat. Tahun 1970 orang yang gajinya Rp 182 ribu/bulan adalah
para direktur. Sekarang di tahun 2010 ini jangankan digaji Rp 182 ribu.
Digaji Rp 400 ribu/bulan pun banyak pembantu yang ogah! Ini karena nilai
rupiah yang terus turun.
Zimbabwe bahkan mengalami inflasi
besar-besaran. Jika tahun 2003, USD 1 = 697.42 Zimbabwe Dollar., tahun
2008 nilai tukarnya jadi USD 1 = 3.333.333.333.333 Zimbabwe Dollar! Foto
di bawah menunjukkan seseorang harus menghitung segepok uang @500.000
dollar Zimbabwe hanya untuk membeli setandan pisang!
Inflasi sangat tinggi dan terjadi setiap
jam dan menghancurkan perekonomian Zimbabwe. Anehnya Zimbabwe
sebetulnya punya kekayaan alam seperti Asbes, Chrom, Batubara, Cobalt,
Tembaga, Emas, Grafit, Besi, Nikel, emas, dan timah. Dengan jumlah
penduduk hanya 13 juta jiwa dan luas 390 ribu km2, harusnya Zimbabwe
jadi negara kaya. Namun mata uang kertas yang lemah yang ditentukan oleh
para spekulan uang membuat miskin negara tersebut!
Bukan hanya uang kertas rupiah yang
turun, tapi juga Dollar yang merupakan Fiat Money (tidak dijamin
emas/perak) juga mengalami inflasi. Nilai 1 US$ pada tahun 1900, di
tahun 2000 ini cuma jadi US$ 0,04 saja atau susut sampai 96%!
Agar nilai uang kertas yang secara
riel/intrinsik nyaris tidak berharga itu (cuma senilai kertas+tinta),
maka Bank Sentral mengeluarkan bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia)
atau kalau di AS namanya The Fed’s rate (The Federal Reserve Bank’s
Interest Rate) untuk mengontrol jumlah uang yang beredar. Namun pada
akhirnya karena bunga harus dibayar beserta pokoknya, maka jumlah uang
beredar pun bertambah dan berakibat inflasi.
Sebaliknya, Islam biasa menggunakan emas
dan perak sebagai mata uang Dinar dan Dirham. Pada zakat yang jadi
patokan juga emas dan perak. Misalnya nisab emas untuk zakat adalah 85
gram emas. Bukan uang kertas. Akibatnya nilainya selalu relevan. Tidak
terlalu kecil, tidak pula terlalu besar.
Emas dan Perak karena punya nilai riel
dibanding kertas, lebih stabil dan lebih tahan terhadap inflasi.
Contohnya, 1 dinar (4,25 gram emas 22 karat) pada zaman Nabi bisa
dipakai untuk membeli 1-2 ekor kambing. Ada satu hadits yang merupakan
bukti sejarah stabilitas uang dinar di Hadits Riwayat Bukhari sebagai
berikut:
”Ali bin Abdullah menceritakan
kepada kami, Sufyan menceritakan kepada kami, Syahib bin Gharqadah
menceritakan kepada kami, ia berkata, “Saya mendengar penduduk bercerita
tentang ’Urwah, bahwa Nabi saw. memberikan uang satu Dinar kepadanya
agar dibelikan seekor kambing untuk beliau, lalu dengan uang tersebut ia
membeli dua ekor kambing, kemudian ia jual satu ekor dengan harga satu
Dinar. Ia pulang membawa satu Dinar dan satu ekor kambing. Nabi saw.
mendoakannya dengan keberkatan dalam jual belinya. Seandainya ‘Urwah
membeli tanahpun, ia pasti beruntung.” (H.R.Bukhari)
Saat ini pun dengan kurs 1 dinar=Rp 1,7 juta, kita bisa mendapat 1 kambing besar atau 2 ekor kambing kecil. Stabil bukan?
Begitu pula stabilitas uang perak Dirham (2,975 gram perak) bisa kita buktikan pada surat Al Kahfi ayat 19:
“…Maka suruhlah salah seorang di
antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan
hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia
membawa makanan itu untukmu…” [Al Kahfi 19]
Nah dengan asumsi pemuda tersebut
membawa 3 uang perak/dirham yang saat ini nilainya Rp 40.000 dan jumlah
pemudanya 5 orang, maka harga makanan per porsinya sekitar Rp 24.000
saja. Tidak jauh beda dengan makanan sekarang untuk kurun waktu ribuan
tahun.
Ini jauh beda dengan dollar di mana
dalam kurun waktu 100 tahun saja nilainya tinggal 0,04 dari sebelumnya.
Jadi jika kita di tahun 1900 bisa beli 1 porsi makanan dengan nilai US$
0,25 (1/4 dollar), tahun 2000 harus US$ 10!
Jadi jika kita menjual barang dengan
uang dinar dan dirham, kita tidak perlu repot menaikkan harga lagi.
Sebab nilai uang kita otomatis mengikuti nilai-nilai barang lainnya
karena sama-sama barang/commodity money.
Para buruh juga tidak perlu lagi demo
minta kenaikan gaji karena dengan gaji dinar/dirham, gaji mereka tidak
digerus inflasi sebagaimana yang terjadi pada uang kertas/Fiat Money.
Sebetulnya emas dan perak sudah biasa
digunakan di berbagai negara baik di Eropa dan Amerika dari sebelum
kekaisaran Romawi hingga abad 19:
http://en.wikipedia.org/wiki/Gold_standard
Penggunaan uang kertas yang tidak
dijamin emas/perak biasanya karena perang seperti pada Perang Saudara di
AS mau pun pada Perang Dunia. Mereka membutuhkan banyak uang lebih
daripada emas dan perak yang mereka miliki. Akibatnya inflasi hebat dan
depresi ekonomi melanda negara-negara tersebut.
Dengan memiliki banyak tambang emas,
perak, dan tembaga, harusnya bangsa Indonesia bisa memiliki mata uang
emas, perak, dan tembaga yang kuat dan stabil untuk memakmurkan
rakyatnya. Tidak perlu lagi mengemis uang kertas dollar yang sebetulnya
tidak berharga kepada para investor asing dengan menggadaikan kekayaan
alam, BUMN, dan perekonomian Indonesia ke pihak asing/kafir.
Beberapa Kontroversi Tentang Penggunaan Uang Emas dan Perak
Jumlah Emas Kurang?
Ada yang menyatakan bahwa jumlah emas
yang pernah ditambang dan diproduksi hanya 142 metrik ton atau senilai
US$ 4,5 trilyun (jika harga emas per kg = US$ 32.500). Menurut mereka
jumlah itu kurang.
Padahal jika dibagi untuk 7 milyar manusia, maka tiap manusia mendapat sekitar Rp 5,85 juta atau 20 gram emas. Tiap keluarga (suami-istri+2 anak) berarti punya Rp 23,5 juta.
Padahal jika dibagi untuk 7 milyar manusia, maka tiap manusia mendapat sekitar Rp 5,85 juta atau 20 gram emas. Tiap keluarga (suami-istri+2 anak) berarti punya Rp 23,5 juta.
Itu baru dari emas. Belum dari uang
perak dan tembaga. Karena Islam tidak hanya memakai emas. Tapi juga
perak (dirham) dan tembaga (fulus) untuk mata uangnya. Jika digabung
dengan uang perak dan tembaga, tiap keluarga bisa memiliki uang senilai
Rp 70 juta. Itu sudah jauh dari mencukupi mengingat dalam Islam uang itu
berfungsi sebagai alat tukar/jual-beli. Bukan untuk disimpan.
Stabilitas uang dinar dan perak
sebagaimana ditunjukkan di atas, berdasarkan hukum Supply and Demand
menunjukkan bahwa jumlahnya stabil/sesuai pertumbuhan jumlah penduduk.
Tidak kurang. Tidak juga berlebih.
Membawa Uang Emas Repot dan Berat?
Ada yang bilang kalau bawa uang emas repot dan berat. Memang berapa banyak uang yang dia bawa?
Sebagai contoh, berat uang kertas
sekitar 1 gram. Jadi dengan membawa 1 gram uang kertas, paling banyak
kita membawa Rp 100.000. Sementara 1 gram emas itu harganya sekitar Rp
450.000. Artinya jika untuk membawa uang Rp 100 juta kita harus membawa 1
kg uang kertas Rp 100.000. Dengan membawa uang emas kita cukup membawa
0,22 kg uang emas saja. Tapi jarang ada orang yang mau membawa uang Rp
100 juta di dompetnya.
Emas dan Perak Tidak Cocok untuk Jadi Mata Uang?
Sebenarnya emas dan perak sudah
dijadikan mata uang di berbagai dunia selama ribuan tahun. Bahkan AS
sendiri menggunakan emas sebagai jaminan uang kertas mereka hingga 40
tahun lalu. Saat presiden AS Nixon mencabut emas sebagai jaminan di
bulan Agustus 1971, baru uang Dollar AS benar-benar menjadi Fiat Money.
Uang kertas yang tidak dijamin emas atau pun perak. Nilainya ditentukan
oleh para spekulan pasar. Jadi baru 40 tahun terakhir saja dunia hidup
dengan uang kertas Fiat Money.
Celakanya kaum Yahudi melalui keluarga
Rothschild dan Rockefeller memegang Bank Sentral AS, The Fed, dan
berbagai Bank Sentral di seluruh dunia. Dengan cara itu, mereka bisa
mencetak kertas yang tidak berharga menjadi uang yang dianggap bernilai.
Hanya mereka yang berhak mencetak uang. Ada pun pihak lain, meski
menggunakan tinta dan kertas yang sama atau lebih mahal, tetap dianggap
uang palsu dan merupakan kejahatan.
Dengan uang itu mereka membiayai
kampanye para politikus/kandidat presiden sehingga bisa jadi boneka
mereka. Dengan uang itu mereka bisa membeli berbagai perusahaan dan
menguasai kekayaan alam di seluruh dunia.
Mata Uang Emas dan Perak Hanya Mata Uang Islam?
Sebetulnya mata uang emas dan perak
dipakai di seluruh dunia di berbagai zaman. Bukan hanya di kalangan
Muslim. Sebagai contoh di Alkitab ditulis:
Tetapi Petrus berkata: “Emas dan perak
tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu: Demi
nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, berjalanlah!” [Kisah Para Rasul
3:6]
Pada beberapa versi lain, kata “Emas dan perak” langsung diterjemahkan sebagai uang atau uang emas dan uang perak.
Di lagu “London Bridge is Falling Down”
juga ditulis “Gold and Silver I have none”. Jadi emas dan perak yang
merupakan logam mulia yang berharga merupakan mata uang yang universal.
Kekaisaran Romawi biasa memakai emas,
perak, dan perunggu sebagai mata uang mereka. Bahkan nama uang Romawi,
Denarius, mirip dengan nama uang Dinar.
Bagaimana dengan Negara yang Tidak Punya Tambang Emas atau Perak?
Ada orang yang menganggap penggunaan
mata uang emas dan perak tidak praktis bagi negara-negara yang tidak
memiliki tambang emas dan perak. Ini keliru. Buktinya negara-negara
seperti Singapura dan Jepang yang nyaris tidak memiliki tambang emas dan
perak, mereka tetap punya banyak emas dan perak. Wanita-wanita mereka
tetap bisa mengenakan cincin dan kalung emas. Ini karena mereka bisa
menjual produk/jasa yang mereka miliki sehingga mereka bisa mendapatkan
emas dan perak.
Bagaimana Dinar Emas bisa Mengatasi Riba?
Ada yang bertanya bagaimana uang Dinar
Emas bisa mengatasi riba? Bukankah larangan Riba terjadi saat mata uang
dinar emas dan dirham perak diberlakukan?
Riba pada saat uang dinar dan dirham itu
hanya dilakukan oleh orang-orang yang serakah. Meski uang emas dan
perak nilainya stabil terhadap harga-harga barang lainnya, namun mereka
tetap melakukan riba.
Sedang sekarang, Riba menggila karena memang uang kertas itu nilainya susut/inflasi sekitar 20%/tahun.
Pada tahun 1970 harga emas Rp 480/gram
sedang ongkos naik haji Rp 182.000. 41 tahun kemudian di tahun 2011
sebesar Rp 30 juta dan harga emas Rp 450.000/gram.
Artinya, jika seseorang meminjamkan uang
Rp 450.000 di tahun 1970, dia akan rugi besar jika dikembalikan tanpa
riba di tahun 2011 sebesar Rp 450.000. Kenapa?
Karena di tahun 1970, dengan uang Rp
450.000 dia bisa beli 937 gram emas dan dapat mengongkosi 2 orang untuk
naik haji berikut uang sakunya.
Sementara di tahun 2011, dia cuma bisa
beli 1 gram emas saja dan tidak bisa dipakai untuk naik haji. Jangankan
buat naik haji. Untuk tamasya ke Bali pun tidak cukup.
Sebaliknya jika dia meminjamkan uang
dalam bentuk emas, yaitu 937 gram emas di tahun 1970, maka di tahun 2011
pun dia tetap bisa naik haji sebab tahun 2011 nilai emas naik jadi Rp
42 juta.
Jadi jika kita memakai uang emas, tanpa
mengambil riba pun kita tidak akan rugi. Sementara dengan uang kertas
akan sangat merugi. Jadi riba lebih mudah dikikis jika kita menggunakan
uang emas dan uang perak.