Pemikiran Ekonomi Asy-Syatibi (790H/1388 M)

A. Riwayat Hidup
Asy-Syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Gharnati asy-Syatibi merupakan salah seorang cendekiawan muslim yang belum banyak diketahui latar belakang kehidupannya. Yang jelas, ia berasal dari suku Arab Lakhmi. Nama asy-Syatibi dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah (Xatiba atau Jativa), yang terletak di kawasan Spanyol bagian timur.1 Asy-Syatibi dibesarkan dan memperoleh seluruh pendidikannya di ibukota kerajaan Nashr, Granada, yang merupakan benteng terakhir umat Islam di Spanyol. Masa mudanya bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Muhammad V al-Ghani Billah yang merupakan masa keemasan umat Islam setempat karena Granada menjadi pusat kegiatan ilmiah dengan berdirinya Universitas Granada. Suasana ilmiah yang berkembang dengan baik di kota tersebut sangat menguntungkan bagi asy-Syatibi dalam menuntut ilmu serta mengembangkannya di kemudian hari. Dalam meniti pengembangan
intelektualitasnya, tokoh yang bermazhab Maliki ini mendalami berbagai ilmu, baik yang berbentuk ‘ulum al-wasa’il (metode) maupun ‘ulum maqashid(esensi dan hakikat). Asy-Syatibi memulai aktivitas ilmiahnya dengan belajar dan mendalami bahasa Arab dari Abu Abdillah Muhammad ibn Fakhkhar al- Biri, Abu Qasim Muhammad ibn Ahmad al-Syabti, dan Abu Ja’far Ahmad al- Syaqwari. Selanjutnya, ia belajar dan mendalami hadis dari Abu Qasim ibn Bina dan Syamsuddin al-Tilimsani, ilmu kalam dan falsafah dari Abu Ali Mansur al-Zawawi, ilmu ushul fikih dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Miqarri dan Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Syarif al- Tilimsani, ilmu sastra dari Abu Bakar al-Qarsyi al-Hasymi, serta berbagai ilmu lainnya, seperti ilmu falak, mantiq, dan debat. Di samping bertemu langsung, ia juga melakukan hubungan korespondensi untuk meningkatkan
dan mengembangkan pengetahuannya, seperti mengirim surat kepada seorang sufi, Abu Abdillah ibn Ibad al-Nafsi al-Rundi. Meskipun mempelajari dan mendalami berbagai ilmu, asy-Syatibi lebih berminat untuk mempelajari bahasa Arab dan, khususnya, ushul fikih. Ketertarikannya terhadap ilmu ushul fikih karena, menurutnya, metodologi dan falsafah fikih Islam merupakan faktor yang sangat menentukan kekuatan dan kelemahan fikih dalam menanggapi perubahan sosial. Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, asy-Syatibi mengembangkankan potensi keilmuannya dengan mengajarkan kepada para generasi berikutnya, seperti Abu Yahya ibn Asim, Abu Bakar al-Qadi dan Abu Abdillah al-Bayani. Di samping itu, ia juga mewarisi karya-karya ilmiah, seperti Syarh Jalil ‘ala al-Khulashah fi al-Nahw dan Ushul al-Nahw dalam bidang bahasa Arab dan al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah dan al-I’tisham dalam bidang ushul fikih. Asy-Syatibi wafat pada tanggal 8 Sya’ban 790 H (1388 M).

B. Konsep Maqashid al-Syari’ah
Sebagai sumber utama agama Islam, Alquran mengandung berbagai ajaran. Ulama membagi kandungan Alquran dalam tiga bagian besar, yaitu akidah, akhlak, dan syariah. Akidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan, akhlak berkaitan dengan etika dan syariah berkaitan dengan berbagai aspek hukum yang muncul dari aqwal (perkataan) dan af’al (perbuatan). Kelompok terakhir (syariah), dalam sistematika hukum Islam, dibagi dalam dua hal, yakni ibadah (habl min Allah) dan muamalah (habl min al-nas). Alquran tidak memuat berbagai aturan yang terperinci tentang ibadah dan muamalah. Ia hanya mengandung dasar-dasar atau prinsip-prinsip bagi berbagai masalah hukum dalam Islam. Bertitik tolak dari dasar atau prinsip ini, Nabi Muhammad saw menjelaskan melalui berbagai hadisnya. Kedua sumber inilah (Alquran dan hadis Nabi) yang kemudian dijadikan pijakan ulama dalam mengembangkan hukum Islam, terutama di bidang muamalah. Dalam kerangka ini, asy-Syatibi mengemukakan konsep maqashid al-syariah. Secara bahasa, Maqashid al-Syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan al-syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan al-syariah berarti jalan menuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan.4 Menurut istilah, asy-Syatibi menyatakan, “Sesungguhnya syariah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat”
Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syariah menurut asy-Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tidak satu pun hukum Allah swt yang tidak mempunyai tujuan karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan.6 Kemaslahatan, dalam hal ini, diartikannya sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan Penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitaskualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak. Dengan demikian, kewajiban-kewajiban dalam syariah menyangkut perlindungan maqashid al-syari’ah yang pada gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan manusia. Asy-Syatibi menjelaskan bahwa syariah berurusan dengan perlindungan mashalih, baik dengan cara yang positif, seperti demi menjaga eksistensi mashalih, syariah mengambil berbagai tindakan untuk menunjang landasan-landasan mashalih, maupun dengan cara preventif, seperti syariah mengambil berbagai tindakan untuk melenyapkan unsur apa pun yang yang secara aktual atau potensial merusak mashalih.

1. Pembagian Maqashid al-Syari’ah
Menurut asy-Syatibi, kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsur pokok kehidupan manusia dapat diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam kerangka ini, ia membagi maqashid menjadi tiga tingkatan, yaitu dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat.

a. Dharuriyat
Jenis maqashid ini merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan manusia di dunia dan di akhirat yang mencakup pemeliharaan lima unsur pokok dalam kehidupan manusia, yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Pengabaian terhadap kelima unsur pokok tersebut akan menimbulkan kerusakan di muka bumi serta kerugian yang nyata di akhirat kelak. Pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta dapat dilakukan dengan cara memelihara eksistensi kelima unsur pokok tersebut dalam kehidupan manusia dan melindunginya dari berbagai hal yang dapat merusak. Sebagai contoh, penunaian rukun Islam, pelaksanaan kehidupan manusiawi serta larangan mencuri masing-masing merupakan salah satu bentuk pemeliharaan eksistensi agama dan jiwa serta perlindungan terhadap eksistensi harta.

b. Hajiyat
Jenis maqashid ini dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan, menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsur pokok kehidupan manusia. Contoh jenis maqashid ini antara lain mencakup kebolehan untuk melaksanakan akad mudharabah, musaqat, muzara’ah dan bai salam, serta berbagai aktivitas ekonomi lainnya yang bertujuan untuk memudahkan kehidupan atau menghilangkan kesulitan manusia di dunia.

c. Tahsiniyat
Tujuan jenis maqashid yang ketiga ini adalah agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia. Ia tidak dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi berbagai kesulitan, tetapi hanya bertindak sebagai pelengkap, penerang dan penghias kehidupan manusia. Contoh jenis maqashid ini antara lain mencakup kehalusan dalam berbicara dan bertindak serta pengembangan kualitas produksi dan hasil pekerjaan.

2. Korelasi Antara Dharuriyat, Hajiyat dan Tahsiniyat
Dari hasil penelaahannya secara lebih mendalam, Asy-Syatibi menyimpulkan korelasi antara dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat sebagai berikut:

a. Maqashid dharuriyat merupakan dasar bagi maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat
b. Kerusakan pada maqashid dharuriyat akan membawa kerusakan pula pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat.
c. Sebaliknya, kerusakan pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat tidak dapat merusak maqashid dharuriyat.
d. Kerusakan pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat yang bersifat absolut terkadang dapat merusak maqashid dharuriyat.
e. Pemeliharaan maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat diperlukan demi pemeliharaan maqashid dharuriyat secara tepat.
Dengan demikian, apabila dianalisis lebih jauh, dalam usaha mencapai
pemeliharaan lima unsur pokok secara sempurna, ketiga tingkat maqashid tersebut tidak dapat dipisahkan. Tampaknya, bagi asy-Syatibi, tingkat hajiyat merupakan penyempurna tingkat dharuriyat, tingkat tahsiniyat merupakan penyempurna lagi bagi tingkat hajiyat, sedangkan dharuriyat menjadi pokok hajiyat dan tahsiniyat. Pengklasifikasian yang dilakukan asy-Syatibi tersebut menunjukkan betapa pentingnya pemeliharaan lima unsur pokok itu dalam kehidupan manusia. Di samping itu, pengklasifikasian tersebut juga mengacu pada pengembangan dan dinamika pemahaman hukum yang diciptakan Allah swt
dalam rangka mewujudkan kemaslahatan manusia. Berkenaan dengan hal tersebut, Mustafa Anas Zarqa menjelaskan bahwa tidak terwujudnya aspek dharuriyat dapat merusak kehidupan manusia dunia dan akhirat secara keseluruhan. Pengabaian terhadap aspek hajiyat tidak sampai merusak keberadaan lima unsur pokok, tetapi hanya membawa kesulitan bagi manusia sebagai mukallaf dalam merealisasikannya. Adapun pengabaian terhadap aspek tahsiniyat mengakibatkan upaya pemeliharaanlima unsur pokok tidak sempurna.12 Lebih jauh, ia menyatakan bahwa segalaaktivitas atau sesuatu yang bersifat tahsiniyat harus dikesampingkan jikabertentangan dengan maqashid yang lebih tinggi (dharuriyat dan hajiyat).

C. Beberapa Pandangan asy-Syatibi di Bidang Ekonomi
1. Obyek Kepemilikan
Pada dasarnya, asy-Syatibi mengakui hak milik individu. Namun, ia menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak. Ia menegaskan bahwa air bukanlah obyek kepemilikan dan penggunaannya tidak bisa dimiliki oleh seorang pun. Dalam hal ini, ia membedakan dua macam air, yaitu: air yang tidak dapat
dijadikan sebagai obyek kepemilikan, seperti air sungai dan oase; dan air yang bisa dijadikan sebagai obyek kepemilikan, seperti air yang dibeli atau termasuk bagian dari sebidang tanah milik individu. Lebih jauh, iamenyatakan bahwa tidak ada hak kepemilikan yang dapat diklaim terhadap sungai dikarenakan adanya pembangunan dam.

2. Pajak
Dalam pandangan asy-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan umum). Dengan mengutip pendapat parapendahulunya, seperti al-Ghazali dan Ibnu al-Farra’, ia menyatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggung jawab masyarakat. Dalam kondisi tidak mampu melaksanakan tanggung jawab ini,
masyarakat bisa mengalihkannya kepada Baitul Mal serta menyumbangkan sebagian kekayaan mereka sendiri untuk tujuan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah dapat mengenakan pajak-pajak baru terhadap rakyatnya, sekalipun pajak tersebut belum pernah dikenal dalam sejarah Islam

D. Wawasan Modern Teori asy-Syatibi
Dari pemaparan konsep Maqashid asy-Syariah di atas, terlihat jelas bahwa syariah menginginkan setiap individu memperhatikan kesejahteraan mereka. Asy-Syatibi menggunakan istilah maslahah untuk menggambarkan tujuan syariah ini. Dengan kata lain, manusia senantiasa dituntut untuk mencari kemaslahatan. Aktivitas ekonomi produksi, konsumsi, dan pertukaran yang menyertakan kemaslahatan seperti didefinisikan syariah harus diikuti sebagai kewajiban agama untuk memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat. Dengan
demikian, seluruh aktivitas ekonomi yang mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut sebagai kebutuhan (needs). Pemenuhan kebutuhan dalam pengertian tersebut adalah tujuan aktivitas ekonomi, dan pencarian terhadap tujuan ini adalah kewajiban agama. Dengan kata lain, manusia berkewajiban untuk memecahkan berbagai permasalahan ekonominya. Oleh karena itu, problematika ekonomi manusia dalam perspektif Islam adalah pemenuhan kebutuhan (fulfillment needs) dengan sumber daya alam yang tersedia. Bila ditelaah dari sudut pandang ilmu manajemen kontemporer, konsep Maqashid al-Syariah mempunyai relevansi yang begitu erat dengan konsep Motivasi. Seperti yang telah kita kenal, konsep motivasi lahir seiring dengan munculnya persoalan “mengapa” seseorang berperilaku. Motivasi itu sendiri didefinisikan sebagai seluruh kondisi usaha keras yang timbul dari dalam diri manusia yang digambarkan dengan keinginan, hasrat, dorongan dan sebagainya.17 Bila dikaitkan dengan konsep maqashid al-syari’ah, jelas bahwa, dalam pandangan Islam, motivasi manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhannya dalam arti memperoleh kemaslahatan hidup di dunia dan di akhirat. Kebutuhan yang belum terpenuhi merupakan kunci utama dalam suatu proses motivasi. Seorang individu akan terdorong untuk berperilaku bila terdapat suatu kekurangan dalam dirinya, baik secara psikis maupun psikologis. Motivasi itu sendiri meliputi usaha, ketekunan dan tujuan.
Menurut Maslow, apabila seluruh kebutuhan seseorang belum terpenuhi pada waktu yang bersamaan, pemenuhan kebutuhan yang paling mendasar merupakan hal menjadi prioritas. Dengan kata lain, seorang individu baru akan beralih untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih tinggi jika kebutuhan dasarnya telah terpenuhi. Lebih jauh, berdasarkan konsep hierarchy of needs, ia berpendapat bahwa garis hirarkis kebutuhan manusia berdasarkan skala prioritasnya terdiri dari
1. Kebutuhan Fisiologi (Physiological Needs), mencakup kebutuhan dasar manusia, seperti makan dan minum. Jika belum terpenuhi, kebutuhan dasar ini akan menjadi prioritas manusia dan mengenyampingkan seluruh kebutuhan hidup lainnya.
2. Kebutuhan Keamanan (Safety Needs), mencakup kebutuhan perlindungan terhadap gangguan fisik dan kesehatan serta krisis ekonomi.
3. Kebutuhan Sosial (Social Needs), mencakup kebutuhan akan cinta, kasih sayang dan persahabatan. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang.
4. fcKebutuhan Akan Penghargaan (Esteem Needs), mencakup kebutuhan terhadap penghormatan dan pengakuan diri. Pemenuhan kebutuhan ini akan mempengaruhi rasa percaya diri dan prestise seseorang.
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri (Self-Actualization Needs), mencakup kebutuhan memberdayakan seluruh potensi dan kemampuan diri.Kebutuhan ini merupakan tingkat kebutuhan yang paling tinggi.
Dalam dunia manajemen, kebutuhan-kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow tersebut dapat diaplikasikan sebagai berikut:
1. Pemenuhan kebutuhan fisiologi antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pemberian upah atau gaji yang adil dan lingkungan kerja yang nyaman.
2. Pemenuhan kebutuhan keamanan antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pemberian tunjangan, keamanan kerja dan lingkungan kerja yang aman.
3. Pemenuhan kebutuhan sosial antara lain dapat diaplikasikan dalam hal dorongan terhadap kerjasama, stabilitas kelompok dan kesempatan berinteraksi sosial.
4. Pemenuhan kebutuhan akan penghargaan antara lain dapat diaplikasikan dalam hal penghormatan terhadap jenis pekerjaan, signifikansi aktivitas pekerjaan dan pengakuan publik terhadap performance yang baik.
5. Pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pilihan dalam berkreativitas dan tantangan pekerjaan.

Bila ditelaah lebih dalam, berbagai tingkat kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow di atas sepenuhnya telah terakomodasi dalam konsep Maqashid al-Syariah. Bahkan, konsep yang telah dikemukakn oleh asy-Syatibi mempunyai keunggulan komparatif yang sangat signifikan, yakni menempatkan agama sebagai faktor utama dalam elemen kebutuhan dasar manusia, satu hal yang luput dari perhatian Maslow. Seperti yang telah dimaklumi bersama, agama merupakan fitrah manusia dan menjadi faktor penentu dalam mengarahkan kehidupan umat manusia di dunia ini. Dalam perspektif Islam, berpijak pada doktrin keagamaan yang
menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalam rangka memperoleh kemaslahatan di dunia dan di akhirat merupakan bagian dari kewajiban agama, manusia akan termotivasi untuk selalu berkreasi dan bekerja keras. Hal ini, pada akhirnya, tentu akan meningkatkan produktivitas kerja dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Leave a comment

Polantas Tempelkan Diri di Depan Bus Hanya untuk Menilang

 
HANOI - Aksi polisi lalu lintas (polantas) di Vietnam ini patut diacungi jempol. Dengan penuh keberanian, dirinya melompat ke bagian depan bus yang melanggar peraturan, karena bus itu tidak mau ditilang.


Letnan Nguyen Manh Phan meminta Phung Hong Phuong agar menghentikan bus yang dikemudikannya karena bus itu melintas di jalan yang berlawanan arah. Namun Phuong menolak untuk menerima surat tilang dari Nguyen dan tetap menancapkan gas.

Nguyen akhirnya melakukan tindakan yang berbahaya, dirinya melompat ke bus tersebut dan bertahan di depan kaca bus. Nguyen berharap bus itu berhenti dan menerima surat tilangnya. Namun bus yang dikemudikan Phuong tetap melaju dengan kecepatan cepat di jalanan. Nguyen pun tampak bergelantungan di depan bus tersebut. Demikian seperti diberitakan Daily Mail, Jumat (13/4/2012).

Tindakan berani yang dilakukan Nguyen terekam kamera dan disiarkan di situs Youtube. Phuong akhirnya menyerah dan menghentikan busnya. Sopir bus itu juga mendapat dakwaan melakukan penyerangan terhadap aparat keamanan.

Nguyen sadar, dirinya melakukan tindakan yang berbahaya, namun Nguyen menjelaskan bahwa tindakan itu dilakukannya sesuai dengan prosedur.(AUL)
Sumber : http://international.okezone.com/read/2012/04/13/214/611150/polantas-tempelkan-diri-di-depan-bus-hanya-untuk-menilang 

Posted in | Leave a comment

Liberalisasi BBM

Pro dan kontra kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang mengundang aksi protes di berbagai tempat sebenarnya bukan semata soal teknis hitungan harga dan besaran subsidi dalam APBN.

Konteks persoalannya harus dilihat bahwa BBM adalah komoditas strategis. Selain faktor penggerak perekonomian, BBM juga memiliki daya tarik bisnis yang keuntungannya menggiurkan. Dengan demikian, pertarungan politik dalam mempengaruhi kebijakan harga BBM tidak sekadar tarik-menarik kepentingan politik di dalam negeri Indonesia.

Pertarungan tersebut selain melibatkan kelompok kepentingan di Indonesia, juga melibatkan pihakpihak eksternal yang berkepentingan untuk melepas kebijakan harga BBM kepada mekanisme pasar.

Kepentingan eksternal tersebut bisa dilihat setidaknya sejak pemerintah menandatangani letter of intent (LoI) dengan International Monetary Fund (IMF) pada 1998. Sejak saat itu pemerintah sudah menjalankan agenda liberalisasi dengan menghapuskan subsidi harga BBM. Kemudian dilanjutkan pada 1999 melalui rancangan UU Migas.

Pada 2000 pemerintah menerima utang dari Amerika dan melalui USAID yang bekerja sama dengan Islamic Development Bank (IDB) dan World Bank (WB) untuk menyiapkan draf UU Migas yang mengakomodasi semangat liberalisasi sektor energi secara menyeluruh.

Posted in | Leave a comment